Kamis, 20 November 2014

pengaruh etika bisnis terhadap kejahatan korporasi



PENGARUH ETIKA BISNIS TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan kegiatan perekonomian dan teknologi, semakin berkembang pula kejahatan-kejahatan di bidang perekonomian. Salah satu kejahatan di bidang perekonomian yang sering terjadi adalah kejahatan korporasi. Dalam dunia perekonomian, korporasi dianggap sebagai suatu badan hukum yang dapat memberikan keuntungan pribadi tanpa perlu adanya pertanggung-jawaban. Namun banyak sekali oknum yang memanfaatkan korporasi sebagai alat untuk melakukan kejahatan-kejahatan di bidang perekonomian.
Di Indonesia banyak sekali kasus-kasus kejahatan korporasi yang telah menyebabkan banyaknya kerugian dan kerusakan, tetapi anehnya hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan padahal banyak sekali bukti-bukti yang menunjukan kejahatan korporasi tersebut. Banyak perusahaan yang menganggap rendah keberadaan hukum, mereka dengan sengaja bahkan berulang-ulang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dan dengan mudahnya dapat terbebas dari tuntutan hukum tersebut.
Masyarakat menilai banyaknya kejahatan korporasi di Indonesia memiliki dampak yang sangat besar dan luas, karena kejahatan korporasi dianggap lebih merugikan dibandingkan kejahatan-kejahatan lainnya.
Kejahatan korporasi di Indonesia banyak sekali contohnya, namun yang akan dibahas kali ini adalah “Kejahatan Korporasi di Bidang Perpajakan (Studi Kasus pada PT. Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas)”.

1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yang disajikan dalam beberapa pertanyaan yaitu:
1.      Hal apakah yang menjadi penyebab perusahaan melakukan kejahatan korporasi?
2.      Apa dampak dari kejahatan korporasi yang dilakukan oleh perusahaan?


BAB II
LANDASAN TEORI

Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), yang sering juga disebut sebagai “white collar crime” (kejahatan kerah putih).
            Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah perilaku sebuah korporasi atau para pegawainya atas nama korporasi, dimana perilaku tersebut dilarang dan patut dihukum oleh hukum. Simpson juga menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi, yaitu:

  • Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. 
  • Baik korporasi (sebagai subyek hukum perorangan) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.   
  •   Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Artikel MetroTVnews.com: “Polisi Bidik Tindak Pidana Korporasi Kasus Restitusi Pajak”
            Tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri membidik pidana korporasi terhadap PT Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas (SAIPK). PT SAIPK merupakan perusahaan wajib pajak yang menyuap dua pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Keduanya dinonaktifkan per Desember 2012.
            "Kami masih melakukan pengkajian untuk mengajukan korporasinya dalam kejahatan korporasi. Perusahaan sebagai pelaku tindak pidana," kata Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyono di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (8/11).
            Menurut dia, upaya ini dilakukan karena uang hasil restitusi pajak PT SAIPK digunakan untuk menyuap pegawai Ditjen Pajak yang menangani perpajakan PT SAIPK. Namun demikian, jika nantinya PT SAIPK sebagai korporasi terbukti melakukan tindakan pidana, pertanggung jawaban dilimpahkan pada pimpinan yang saat itu memimpin perusahaan.
            Selain itu, penyidik juga membidik perusahaan-perusahaan lain yang penanganan pajaknya dilakukan Totok dan Denok. Penelusuran dilakukan melalui dokumen-dokumen pajak yang telah diberikan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
            "Kami sedang mempelajari dokumen-dokumen dari kantor pajak, sasarannya wajib pajak lain yang ditangani dua tersangka ini, yang mungkin memperoleh restitusi pajak dengan cara yang sama," kata Arief menjelaskan.
            Arief menambahkan, berkas perkara tersangka Totok dan Denok telah rampung digarap tim penyidik. Rencananya, minggu depan berkas keduanya akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
            "Berkas perkara Totok dan Denok sudah selesai, akan kami kirimkan Selasa atau Rabu depan,"imbuhnya.
            Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto ditangkap tim penyidik Dittipid eksus Bareskrim Polri pada 21 Oktober lalu. Keduanya hingga saat ini masih meringkuk di Tahanan Bareskrim Polri. Keduanya diduga sebagai penerima suap Rp1,6 miliar dari Komisaris PT SAIPK atas nama Berty yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp21 miliar dari jumlah restitusi yang dicairkan.
            Ketiganya, disangkakan melanggar pasal 5, 11, 12 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 dan 6 undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

3.2  Artikel Detik.com: “Kasus Suap Pejabat Pajak, Polisi Bidik Kejahatan Perusahaan”
             Polisi terus mendalami dugaan suap restitusi dan kejahatan pencucian uang yang dilakukan dua pegawai pajak Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno. Polisi juga tengah membidik kejahatan korporasi atau perusahaan dalam kasus tersebut.
            "Kami mengkaji korporasinya sebagai pelaku kejahatan. Artinya perusahaannya jadi pelaku kejahatannya, karena rupanya uang untuk menyuap itu dari restitusi pajak," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipid Eksus) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyanto, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (8/11/2013).
            Polisi juga menelaah wajib pajak lainnya yang ditangani oleh kedua tersangka. Hal ini untuk melihat dugaan kejahatan dengan modus serupa seperti yang dilakukan kedua pegawai pajak tersebut dengan PT SAIPK.
            Kasus tersebut diketahui pada 2010 lalu dari adanya dugaan pelanggaran administrasi restitusi pajak PT SAIPK dari tahun 2004 hingga 2007. Itjen Kemenkeu selanjutnya mendapatkan laporan dari PPATK terkait transaksi mencurigakan yang melibatkan Denok dan Totok.
            Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan menemukan adanya transaksi mencurigakan dari keduanya sebesar Rp 600 juta. Namun, seiring dengan pemeriksaan internal Kemenkeu, polisi menemukan transaksi mencurigakan senilai Rp 1,6 miliar.
            Transaksi tersebut merupakan pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas (SAIPK) senilai Rp 21 miliar, terhitung dari tahun 2004 hingga 2007.

BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan PT. Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas (SAIPK) yang merupakan perusahaan wajib pajak melakukan tindakan kriminal berupa penyuapan uang hasil restitusi pajak perusahaan tersebut, kepada dua pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Penyuapan uang ini dilakukan, sebagai uang pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak PT. SAIPK senilai Rp 21 miliar yang terhitung mulai dari tahun 2004 hingga 2007. Dampak dari tindakan kejahatan ini adalah negara dirugikan sebesar Rp21 miliar dari jumlah restitusi yang dicairkan.

4.2  Saran
Dalam menjalankan suatu usaha, perusahaan seharusnya tidak melakukan kejahatan korporasi karena akan merugikan banyak pihak bahkan negara juga akan dirugikan. Sebagai wajib pajak seharusnya perusahaan membayar pajak sesuai dengan aturan hukum pajak yang berlaku, jangan hanya mementingkan keuntungan sendiri saja tetapi juga harus memperhatikan etika-etika dalam berbisnis. Kemudian perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan korporasi agar diberikan sanksi yang berat dan tegas agar tidak terulang kembali kejahatan-kejahatan korporasi lainnya di Indonesia.


#SUMBER REFERENSI:
http://boetarboetarzz.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar