Rabu, 07 November 2012

membangun koperasi berbasis anggota dalam pengembangan ekonomi rakyat

MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi

Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)

                                                              
Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.ht


Abstrak

Membangun koperasi berbasis anggota dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara melihat bagaimana kodisi koperasi,faktor dan peran koperasi dan cara mengembangkan koperasi di Indonesia.Melakukan hal tersebut dapat membangun koperasi dengan lebih baik dan dapat mengembangkan koperasi tersebut didalam ekonomi rakyat.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
            a. Bagaimana kondisi koperasi dalam perbandingan KUD dan koperasi kredit
            b. Bagaimana faktor dan peran kopersi didalam sebuah koperasi
            c. Bagaimana cara mengembangkan koperasi di Indonesia

1.2  Tujuan Penulisan

     Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :
   a.Untuk mengetahui bagaimana membangun koperasi berbasis anggota dalam rangka    pengembangan ekonomi rakyat
   b.Sebagai tugas mata kuliah ekonomi koperasi disemester tiga








BAB II
PEMBAHASAN
A. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)

     Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda.  Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) : Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi sangat dibutuhkan pelanggan karena tidak memiliki aksebilitas pada pelanggan dari bentuk lembaga lain. Koperasi Kredit sangat berperan dalam menyediakan dana yang relative mudah bagi anggota dibandingkan meminjam dibank.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.  Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain. 
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memiliki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. 
Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor.  Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat. 
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi.  Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.  Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. 
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis.  Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD.  Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses.  Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas.  Pola yang tidak hanya  ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.  Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.

B.
FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI

Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup. 

 1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri. 
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi.  Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau  secara ‘bottom-up’.  Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian.  Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri. 

 2.  Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. 
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar.  Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya.  Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. 

 3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi. 
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain.  Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi.  Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut.  Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.

 4.  Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi. 
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota.  Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi.  Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.  

5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota
    d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri. 

 Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota.  Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi.  Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis.  Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain.  Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi.  Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya.  Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan.  Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.

6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.  
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’.  Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital.  Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional.  Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya.  Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.

C. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA

Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan  koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis).   Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.  Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :

1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi. 
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan.   Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing.  Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia.  Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. 

2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum. 
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank.  Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank.  Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA).  Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain.  Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan.  Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. 

3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang. 
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya.  Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya.  Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi  di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan yang dihadapi diatas seharusnya dapat diatasi dengan adanya campur tangan pemerintah untuk terjun langsung kelapangan.

4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi. 
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar.  Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.  Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan.  Contoh diatas menggambarkan bahwa koperasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat,terutama para pengusaha kecil.

5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.  
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha).  Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi.  Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.  Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi. 

6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya. 
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah.  Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan.  Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih  tepat dan dibutuhkan.  



7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat.  Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan.  Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi.  Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya, berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi sudah dipandang buruk oleh masyarakat, karena dalam melakukan kegiatanya bukanya mempermudah malah mempersulit kegiatan usaha tersebut. Dan akan mempengaruhi usaha koperasi tersebut, apabila tidak segera ditangani dengan baik dan benar dalam menjalankan tugasnya. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.  

8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah.  Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.  Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi  relatif terbatas.  Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.  

BAB III
PENUTUP

D. KESIMPULAN

Beberapa pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat.  Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri.  Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan.  Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.  Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif.  Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.  Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi : Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)



Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.ht